Menurut asal katanya,kata Wonobodro terdiri dari “wono” yang berarti “hutan, alas” dan “bodro” yang berarti “usaha untuk mencapai tataran kemuliaan hidup.” Jadi “Wonobodro” secara harfiah dapat diartikan “Hutan tempat orang-orang melakukan laku tertentu untuk mencapai tataran kemuliaan hidup.” Kemuliaan hidup merupakan bagian dari budaya orang-orang Jawa dalam menyikapi hidup di tengah masyarakat umum. Pada jaman dahulu, orang-orang yang mulia hidupnya dalam masyarakat dapat berupa pemangku jabatan atau kekuasaan mendapatkan penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Untuk mencapai kedudukan yang mulia (sebagai raja dan jabatan-jabatan dalam kerajaan, adipati, lurah/kepala desa, pemimpin komunitas tertentu/imam, ajar, guru, dan sebagainya) orang-orang akan melakukan laku (tindakan) tertentu yang disebut “tirakat”, misalnya dengan melakukan puasa, mengurangi makan/minum, menghindari pergaulan/cinta birahi, mengurangi tidur, mengurangi kesenangan, mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi (misalnya di gua, hutan) atau bahkan bertapa selama waktu tertentu.
Berdasarkan nama, dimungkinkan Wonobodro dahulunya merupakan kawasan hutan yang dijadikan tempat untuk melakukan “bebadran.” Orang-orang tersebut lama-kelamaan memilih tempat itu sebagai tempat tinggal. Dan seiring dengan perkembangan jaman, orang-orang yang berdiam di tempat itu berkembang-biak sehingga tempat tinggalnya menjadi sebuah pemukiman, yang di kemudian bernama “Wonobodro.”
Apakah yang membuat Wonobodro punya sejarah..? Di sini terdapat areal pemakaman kuno yang menurut cerita turun-temurun dari penduduk Wonobodro adalah pesareyan (pemakaman) para aulia pengikut Syeh Maulana Maghribi (guru agama dari arah matahari tenggelam/barat). Berbeda dari situs Ujung Negoro yang merupakan petilasan Syeh Maulana Maghribi, di Wonobodro ini bukan sekedar petilasan, melainkan tempat pemakaman. Artinya, bahwa para pengikut Syeh Maulana Maghribi ini tidak sekedar beristirahat dalam perjalanan dakwahnya, melainkan benar-benar bermukim hingga meninggal di tempat ini. Juga bukan satu makam, namun banyak makam sehingga merupakan kompleks pemakaman. Penduduk setempat menyebutnya komplek makam aulia Wonobodro.
Hampir sepanjang tahun banyak penziarah dari sudut-sudut tanah air (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Luar Jawa) berdatangan ke komplek ini sehingga oleh pemerintah desa Wonobodro di jadikan momen haul tahunan yang diselenggarakan setiap bulan Muharram sekitar tanggal 11 sampai 13. Pemerintah Kab. Batang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga memasukkan Komplek Makam Aulia Wonobodro sebagai salah satu tempat wisata ziarah andalan di Kabupaten Batang.
Keberadaan Komplek Makam Aulia Wonobodro membuktikan bahwa dakwah Islam di Nusantara pada waktu itu (Jawa Tengah khususnya) tidak terlepas dari peran para aulia pengikut Syeh Maulana Maghribi yang berada di sini. Hingga sekarang ini penduduk di kawasan KecBlado, Bandar,Reban, Tersono, Limpung dan Bawang terkenal sangat religius dan taat melaksanakan ajaran agama Islam karena warisan dakwah Syeh Maulana Maghribi dan para pengikutnya yang makamnya hingga saat ini dipelihara dengan baik oleh penduduk sekitar.
0 komentar:
Posting Komentar